Kamis, 17 Maret 2011

kepadatan dan kesesakan

Pendahuluan

Kepadatan dan kesesakan merupakan fenomena yang dianggap serius oleh setiap negara dan akan menimbulkan masalah. Terbatasnya luas bumi dan potensi sumber daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perekembangan jumlah manusia di dunia kini meningkat dan tidak terbatas. Kebisingan, kondisi lingkungan yang padat dan sesak dapat menyebabkan penurunan kesehatan baik secara fisik maupun mental dan juga menurunnya tingkat kenyamanan manusia yang ada dilingkungan tersebut.

Bayangkan saja bila sebuah rumah kecil dihuni dua orang (suami – istri). Bandingkan keadaannya jika rumah itu dihuni oleh sepuluh orang. Tentu akan sangat padat dan penuh. Bandingkan juga apa yang terjadi jika sebuah kolam diisi dua ekor ikan, dengan kolam yang berisi 500 ekor ikan. Maka disana akan terjadi persaingan, perebutan makanan. Demikian halnya dengan manusia. Semakin padat populasinya, persaingan memperebutkan makanan dan Sumber Daya Alam akan semakin tajam. Akibatnya SDA yang tidak bisa diperbarui bisa rusak dan habis. Pertambahan penduduk yang secara besar – besaran mengakibatkan berbagai masalah. Seperti kurangnya lapangan pekerjaa yang mengakibatkan peningkatan kejahatan. Selain itu menurut sebuah survey, kepadatan memberikan kontribusi terhadap peningkatan agresifitas.

A. Pengertian kepadatan

Kepadatan adalah hasil bagi jumlah objek terhadap luas daerah. Dengan demikian satuan yang digunakan adalah satuan/luas daerah, misalnya: buah/m2.

Menurut salah satu tokah psikologi bernama Sundstom kepadatan adalah sejumlah manusia dalam satu unit ruangan atau sejumlah individu yang berada di suatu ruangan atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik. Dimana suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan luas ruangannya (Sarwono, 1992). Kepadatan adalah sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).

Penelitian tentang kepadatan manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun (dalam Worche dan Cooper, 1983) bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus. Pertumbuhan populasi yang tak terkendali, memberikan dampak negatif terhadap tikus – tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Penelitian terhadap manusia pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991). Bell mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan, diantaranya :


1. ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

2.peningkatan agresivitas pada anak – anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok

.
3. terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.

Akibat kepadatan

Kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial, maupun psikis.

Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain.

Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja.

Akibat secara psikis, antara lain:

a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stress

b. Menarik diri. Kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya

c. Perilaku menolong (perilaku prososial). Kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal

d. Kemampuan mengerjakan tugas. Situasi padat menurunkan kemampuan inividu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu

e. Perilaku agresi. Situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi

Teori kepadatan

Teori Kepadatan Menurut Halohan

1 Kepadatan Spasial (Spasial Density)

Terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit, sedangkan jumlah individu tetap.


2. Kepadatan Sosial (Social Density)

Terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi penambahan luas ruang.


Teori Kepadatan Menurut Altman

1. Kepadatan Altman (Inside Density)

Jumlah individu dalam suatu ruangan atau tempat tinggal.


2. Kepadatan Luar (Outside Density)

Sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu

B. Pengertian kesesakan

Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) tidaklah jelas benar, bahkan kadang – kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikian secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu ksatuan ruang.

Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding), yaitu dimana factor – factor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler (molecular crowding), yaitu perasaan sesak yang menganalisa mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal dan kesesakan molar (molar crowding), yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota.

Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.

Menurut Rapport (dalam Prabowo, 1990) kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besar ruangan dirasa tidak mencukupi sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruangan yang tersedia.

Menurut Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor :

  1. Karakteristik seting fisik.
  2. Karakteristik seting sosial.
  3. Karakteristik personal.
  4. Kemampuan beradaptasi.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

Teori kesesakan

a. Teori Beban Stimulus

Kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan.

b. Teori Ekologi

Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sidat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbale balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok social dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.

Analisis terhadap setting meliputi:

1) Maintenance Minimum, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung.

2) Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut

3) Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian dalam suatu seting. Applicant dalam seting rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

  • Performer : jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami dan isteri
  • Non-performer: yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini anak-anak atau orang lain dalam keluarga.

4) Teori Kendala Perilaku

Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Menurut teori ini, bila timbul gangguan terhadap kebebasan berperilaku, maka orang akan cenderung untuk membentuk semacam sikap penolakan psikologis. Hal tersebut berhubungan dengan campur tangan social atau hambatan-hambatan terhadap perilaku yang berupa aktivitas-aktivitas dari orang-orang di lingkungan sekitar.

Menurut Altman kondisi kesesakan yang ekstrim akan timbul bila faktor-faktor dibawah ini muncul secara simultan:

1. Kondisi-kondisi pencetus, terdiri dari tiga faktor :

(a) Faktor-faktor situsional, seperti kepadatan ruang yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, dengan sumber-sumber pilihan perilaku yang terbatas.

(b) Faktor-faktor personal, seperti kurangnya kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam situasi yang padat dan rendahnya keinginan berinteraksi dengan orang lain yang didasarkan pada latar belakang pribadi, suasana hati, dan sebagainya.

(c) Kondisi interpersonal, sepwerti gangguan sosial, ketidak mampuan memperoleh sumber-sumber kebutuhan, dan gangguan lainnya.

2. Serangkaian faktor-faktor organismik dan psikologis seperti stress, kekacauan pikiran, dan persaan kurang enak badan.

3. Respon-respon pengatasan, yang meliputi beberapa perilaku verbal dan non verbal yang tidak efektif dalam mengurangi stress atau dalam mencapai interaksi yang diinginkan dalam jangka waktu yang panjang atau lama.

Factor – factor yang mempengaruhi kesesakan

Terdapat tiga factor yang mempengaruhi kesesakan, yaitu :

1. Faktor Personal.

Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya,
pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.

a). Kontrol pribadi dan locus of control

Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper, 1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai kontrol terhadap lingkungan di stkitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol pribadi di dalarnnya.

b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi

Suatu penelitian yang dilaku1can oleh Nasar dan Min (dalam Gifford, 1987), yang meneoba membandingkan kesesakan yang dialami oll?h orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sarna di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pad a individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia.

c). Jenis Kelamin dan usia

PeneIitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada pria pengalaman akan kesesakan ini lebih terlihat dibanding wanita karena lebih menunjukkan sikap-sikap reaktif terhadap kondisi tersebut. Sikap reaktif itu tercemin dalam sikap yang lebih agresif, kompetitif dan negatif dalam berinteraksi dengan orang lain Sementam itu Dabbs (1977) mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin tidaklah berpengaruh terhadap kesesakan, melainkan lebih dipengaruhi oleh jenis kelamin mitra yang dihadapi.
Menurut Loo (dalam Gove dan Hughes, 1983) dan Holahan (1982) gejala reaktif
terhadap kesesakan juga lebih terlihat pada individu yang usianya tebih muda dibanding yang lebih tua.

2. Faktor Sosial.

Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih
banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tctapi di lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah

:
a). Kehadiran dan perilaku orang lain

Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu ban yak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, ternan sekamar, dan proses belajar mereka

.
b). Formasi koalisi

Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan ternan sekamar (dari satu menjadi dua orang ternan) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yang disebabkan karen a terbentuknya koalisi di satu pihak dan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford, 1987).


c). Kualitas hubungan

Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gifford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sarna dengan dirinya merasakurang men gal ami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.


d). Informasi yang tersedia

Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi ten tang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).

3. Faktor Fisik.

Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah
berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.

Faktor situasional tersebut antara lain:


a). Besarnya skala lingkungan

Dalam suatu seting ada tanda-tanda fisik dan psikologis. Tanda-tanda fisik adalah kepadatan, kawasan industri, taman, jalan-jalan, dan lain-lain. Adapun tanda-tanda psikologis seperti sikap terhadap kaum urban, privasi, dan perbandingan dengan kota-kota lain. Perasaan sesak yang teijadi pada skala kecil (tempat tinggal) sebaiknya diprediksikan dengan faktor-faktorfisik dan psikologis, tetapi bila terjadi pada skala yang lebih besar akan lebih baik bila diprediksikan hanya dengan faktor psikologis. Kesimpulan tersebut diambil dari hasil penelitian mengenai pengukuran pengaruh fisik dan psikologis terhadap kesesakan. Kesesakan dipengaruhi oleh skala geografis yang digunakan untuk melihat situasi itu dan perbedaan faktor-faktor pada masing-masing skala yang menyebabkan individu menyimpulkan bahwa dirinya merasa sesak.


b). Variasi arsitektural

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baum dan Valins (1977) ditemukan bahwa desain koridor yang panjang akan menimbulkan perilaku kompetitif, penarikan diri, rendahnya perilaku kooperatif, dan rendahnya kemampuan untuk mengontrol interaksi. McCartey dan Saegert (dalam Gifford, 1987) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan bangunan horisontal, kehidupan di bangunan vertikal dapat menyebabkan perasaan sesak yang lebih besar dan menimbulkan sikap-sikap-negatif seperti kurangnya kemampuan untuk mengontrol, rendahnya rasa aman, merasakesulitan dalam mencapai privasi, rendahnya kepuasan terhadap bangunan yang ada, dan hubungan yang tidak erat di antara sesama penghuni.

Dampak kesesakan

Kesesakan juga dapat mempengaruhi perilaku individu

1. Aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain

2. Interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya

3. Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)

4. Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).

5. Penurunan – penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.

6. Malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).

7. Kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982)

8. Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).

Namun dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi :
(1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain;

(2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih;
(3) kontrol pribadi yang kurang

(4) stimulus yang berlebihan.

Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan.


Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta setting kejadian.

Solusi kepadatan dan kesesakan

Masalah kepadatan dan kesesakan bisa dikurangi dengan solusi :

ü Mencegah urbanisasi yang berlebihan yaitu, dengan membangun lapangan kerja di kota – kota kecil.

ü Melakukan razia penduduk dan mengembalikan penduduk yang tidak memiliki kartu identitas kembali ke daerah asalnya

ü Menggalakkan program KB

ü Melakukan transmigrasi dari pulau yang padat penduduk ke pulau yang konsentrasinya rendah

ü Melakukan pelestarian alam untuk mendukung keseimbangan manakala manusia melakukan kegiatannya sehari – hari. Komponen lingkungan yang terdiri dari manusia, materi, energi, dan kreasi oleh ilmu lingkungan diatur agar komponen serta hubungan timbal baliknya dapat mempertahankan eksistensi manusia, menciptakan dinamika dan kesejahteraan manusia.

Contoh nyata kepadatan dan kesesakan

Pulau Jawa dan Madura mepunyai kepadatan tertinggi pada tahun 1971, yaitu 576 orang per km2, sedangkan pulau lainnya dibawah 50 orang.

Sumber
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab4 kepadatan_dan_ kesesakan.pdf, http://id.wikipedia.org/wiki/Kepadatan