Oleh :
Alzena Amanta 10508259
Nikmah Khumairoh 10508154
Nurul Lailani S 10508164
Putri Asih 10508175
Ratih Nurwahyuningtyas 10508185
3PA06
peran psikologi kelompok dalam bencana
sungguh nyata jika manusia berencana, Tuhan juga yang menentukan. Kita hanya bisa merendahkan hati dan berusaha keras untuk saling berempati.
Ø Awal Mula Bencana
Letusan eksplosif Gunung Merapi memeras air mata penduduk DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Peristiwa itu sangat mencekam, mengacaukan dan membawa korban tewas, puluhan sapi mati serta belasan rumah terbakar akibat awan panas atau runtuh akibat banjir lumpur.
Sejak letusan pertama 26 Oktober 2010, Merapi telah menyemburkan material vulkanik sekitar 100 juta meter kubik (m3). Sekitar 100 juta m3 material vulkanik itu menyebar ke sector selatan, barat daya, tenggara, barat dan utara yang diantaranya meliputi kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, serta Kabupaten Klaten, Boyolali dan Magelang di Jawa Tengah.
Berdasarkan observasi lapangan sementara petugas Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknolohi Kegunungapian (BPPTK), jarak luncur awan panas terjauh akibat letusan Merapi sepanjang 4/11-5/11 tercatat sejauh 14 kilometer di Dusun Bronggang, Cangkringan, Sleman, DIY. Akibat letusan itu tiga alat pencatat gempa BPPTK di stasiun Klatakan, Pusonglondon, dan Deles, rusak terkena awan panas.
Gelombang awan panas tak putus-putusnya keluar dari puncak beserta material letusan lava dan abu yang diiringi gemuruh. Puncaknya terjadi pada Jumat pukul 00.30. suara gelegar besar terdengar hingga radius 30 km dan hujan pasir hingga radius 15 km. hujan abu vulkanik juga terjadi hingga kota Yogyakarta yang berjarak lebih dari 30 km di selatan Merapi. Bahkan hingga kabupaten Tegal dan Brebes, Jawa Tengah.
Ø Penanganan bencana
Pasca bencana yang terjadi dapat membuat sebagian masyarakat mengalami stres, karena besarnya masalah gangguan jiwa dampak dari bencana yang mereka rasakan serta terlalu lama berada di daerah pengungsian dan yang ditakutkan mereka akan mengalami depresi berat, psikosis, atau bahkan kecemasan yang membuat para korban bencana tidak berdaya dalam menjalani hidup kembali seperti sebelumnya. “Terapi kelompok merupakan faktor atau aspek yang berpengaruh dan berperan terhadap proses perubahan yang dialami individu (Yalom, 1975)”. Terapi kelompok diharapkan dapat sedikit membantu seseorang yang mengikuti terapi, karena bertujuan untuk :
· Membangkitkan dan mendorong seseorang untuk tetap mau berusaha dan mampu bertahan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.
· Memberikan sebuah informasi bahwa bukan hanya dia saja yang mengalami masalah tetapi semua yang ada dalam 1 kawasan bencana mengalami permasalahan yang sama dalam arti mereka tidak sendiri.
· Satu sama lain belajar memberikan informasi tentang permasalahnya.
· Adanya proses saling menerima, membantu, memberi dukungan, meyakinkan, memberi saran, sharing tentang masalah yang sama untuk memberikan umpan balik hal tersebut sangat membantu karena setiap orang sebenarnya butuh untuk merasa dibutuhkan.
Dengan dilakukannya terapi kelompok diharapkan dapat memulihkan kondisi kejiwaan para korban bencana.
Dampak yang paling memprihatinkan juga terjadi pada tunas generasi bangsa atau anak-anak yang mengalami bencana, “Semua anak-anak berhak atas lingkungan yang dapat mengembangkan potensi-potensi mereka sampai ketingkat yang terbaik dan membuat mereka menjadi orang-orang yang bahagia. Disamping kasih sayang, anak-anak membutuhkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan, bakat, dan kepribadian masing-masing. Oleh sebab itu harus diusahakan lingkungan memberikan berbagai kemungkinan yang tidak dapat atau tidak diberikan oleh orang tua (Scarr, 1996)”, tetapi bagaimana dengan anak-anak yang lingkungannya terkena bencana, mereka pasti mengalami trauma yang sangat mendalam dan diharapkan para relawan dapat menghibur anak-anak dengan mengajak mereka belajar sambil bermain, bercanda, dan tertawa bersama sekedar melihat mereka tersenyum melupakan permasalahan yang mereka rasakan agar dapat berkembang sebagai anak-anak yang bahagia serta dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya di masa mendatang.
Kerentanan terbesar terhadap trauma justru disandang oleh anak-anak dan remaja (Stortelder & Ploegmakers-Burg, 2010). Orang-orang dewasa bisa juga terkena dampak tapi pada umumnya anak-anak dan remaja dapat terkena dampak yang lebih buruk.
Otak dan jiwa anak-anak dalam lima tahun pertama kehidupan mereka sangat rentan untuk mengalami perubahan positif maupun negatif. Perubahan itu berulang ketika anak memasuki usia 12 tahun. Trauma yang tidak ditindaklanjuti dengan terapi yang sungguh-sungguh dapat mengakibatkan psikopatologi (kondisi otak dan jiwa bermasalah yang menyatakan dirinya dalam berbagai gangguan pikiran, gangguan perasaan dan gangguan perilaku personal maupun sosial).
Traumatik paling mendalam yang dialami oleh anak-anak dan remaja dalam bencana adalah kehilangan pengasuh utama (ibu, ayah, bibi, paman, guru dan orang-orang dekat lainnya). Melalui hubungan-hubungan yang bersifat empatetik dan penyubstitusian yang diresapi pengertian, penerimaan hangat dan kejujuran serta ditandai teladan-teladan yang baik, otak jiwa anak dan remaja bertumbuh kembang sehat meniti suatu perjalanan perubahan dahsyat baik pada struktur otak maupun pada fungsi-fungsi kejiwaan dan sosial.
Peristiwa trauma lain yang juga sangat mendasar adalah kehilangan rumah, kampung halaman, keluarga dan sekolah adalah tempat hidup utama bagi anak-anak dan remaja. Ditempat hidup itu mereka meniti perkembangan neuropsikososial menuju perwujudan kemampuan-kemampuan untuk hidup sehat dan baik secara biopsikososial. Ketika bencana menghilangkan rumah, kampong halaman, keluarga dan sekolah dari kehidupan mereka, mereka pun kehilangan kesempatan untuk mengalami perkembangan neuropsikososial yang sehat dan baik.
Kehilangan-kehilangan itu sekarang harus dipulihkan seoptimal mungkin. Simpati diwujudnyatakan sebagai program-program dan aksi-aksi nyata menghadirkan pengganti dari fungsi pengasuh utama yang hilang, juga rumah, kampong halaman, keluarga dan sekolah yang hilang dari anak-anak dan remaja dalam bencana.
Ø Relokasi Bencana
“Para korban diharapkan dapat membentuk suatu kumpulan dan bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan (Deutsch, 1959; mills, 1967)” yaitu membangun daerahnya kembali disebut kelompok-relation, kelompok yang memiliki identitas kelompok yang kuat atau keluarga besar serta memiliki kekompakan kelompok yang tinggi (kelompok sangat terpadu/kohesif). Oleh sebab itu harus ada yang menjadi “panutan atau pemimpin agar dapat mengarahkan atau mempengaruhi sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama (Hemphill & Coons, 1957:7)”.
Istilah relokasi tak muncul semena-mena setelah adanya bencana. Relokasi telah lahir sebagai wacana publik, setidaknya dikalangan media. Pemerintah yang dijadikan sebagai pemimpin diharapkan dapat memberi kejelasan yang pasti dalam membantu para korban bencana dan pemerintah juga berlaku sebagai pihak yang memfasilitasi program relokasi kolektif ini. Relokasi merupakan salah satu alternatif untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tanahnya musnah terkena bencana, baik sebagian maupun seluruhnya, untuk menata kembali dan melanjutkan kehidupannya di tempat yang baru dan berada pada zona aman bencana.
Hak masyarakat kelompok yang harus dipenuhi atau dipertimbangkan pemerintah yang akan di relokasi adalah, pembangunan hunian sementara (huntara) pada keamanan relokasi dengan melihat titik-titik di daerah garis merah atau yang berada di radius 10-20 kilometer dari sumber bencana dengan pertimbangan bentuk rumah dan bangunan lain yang relevan, status hak atas tanah terhadap tanah dan bangunan yang telah diserah terimakan kepada masyarakat, diberikan kepastian dan perlindungan hukum berupa hak milik. Kelengkapan fisik lokasi pemukiman kembali, letak dekat dengan daerah aliran sungai, ketersediaan air bersih, akses jalan, pemanfaatan, dan kondisi lahan untuk memajukan perekonomian.
Relokasi yang relative diterima biasanya didukung tiga kondisi :
· Pertama. Pengetahuan umum yang menyatakan bahwa daerah yang tertimpa bencana alam itu tidak bisa dijadikan permukiman lagi.
· Kedua. Jaminan kepastian hak milik tanah
· Ketiga. Jaminan mata pencaharian yang sepadan dengan mata pencaharian di daerah asal.
Diharapkan apapun upaya yang dilakukan pemerintah serta peran kelompok dapat membantu dan mendukungan terhadap pemulihan tingkat kehidupan masyarakat kembali normal serta mengantisipasi dan meminimalkan dampak bencana di kemudian hari dengan menjaga lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar