Kamis, 17 Maret 2011

kepadatan dan kesesakan

Pendahuluan

Kepadatan dan kesesakan merupakan fenomena yang dianggap serius oleh setiap negara dan akan menimbulkan masalah. Terbatasnya luas bumi dan potensi sumber daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perekembangan jumlah manusia di dunia kini meningkat dan tidak terbatas. Kebisingan, kondisi lingkungan yang padat dan sesak dapat menyebabkan penurunan kesehatan baik secara fisik maupun mental dan juga menurunnya tingkat kenyamanan manusia yang ada dilingkungan tersebut.

Bayangkan saja bila sebuah rumah kecil dihuni dua orang (suami – istri). Bandingkan keadaannya jika rumah itu dihuni oleh sepuluh orang. Tentu akan sangat padat dan penuh. Bandingkan juga apa yang terjadi jika sebuah kolam diisi dua ekor ikan, dengan kolam yang berisi 500 ekor ikan. Maka disana akan terjadi persaingan, perebutan makanan. Demikian halnya dengan manusia. Semakin padat populasinya, persaingan memperebutkan makanan dan Sumber Daya Alam akan semakin tajam. Akibatnya SDA yang tidak bisa diperbarui bisa rusak dan habis. Pertambahan penduduk yang secara besar – besaran mengakibatkan berbagai masalah. Seperti kurangnya lapangan pekerjaa yang mengakibatkan peningkatan kejahatan. Selain itu menurut sebuah survey, kepadatan memberikan kontribusi terhadap peningkatan agresifitas.

A. Pengertian kepadatan

Kepadatan adalah hasil bagi jumlah objek terhadap luas daerah. Dengan demikian satuan yang digunakan adalah satuan/luas daerah, misalnya: buah/m2.

Menurut salah satu tokah psikologi bernama Sundstom kepadatan adalah sejumlah manusia dalam satu unit ruangan atau sejumlah individu yang berada di suatu ruangan atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik. Dimana suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan luas ruangannya (Sarwono, 1992). Kepadatan adalah sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).

Penelitian tentang kepadatan manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun (dalam Worche dan Cooper, 1983) bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus. Pertumbuhan populasi yang tak terkendali, memberikan dampak negatif terhadap tikus – tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Penelitian terhadap manusia pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991). Bell mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan, diantaranya :


1. ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

2.peningkatan agresivitas pada anak – anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok

.
3. terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.

Akibat kepadatan

Kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial, maupun psikis.

Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain.

Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja.

Akibat secara psikis, antara lain:

a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stress

b. Menarik diri. Kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya

c. Perilaku menolong (perilaku prososial). Kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal

d. Kemampuan mengerjakan tugas. Situasi padat menurunkan kemampuan inividu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu

e. Perilaku agresi. Situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi

Teori kepadatan

Teori Kepadatan Menurut Halohan

1 Kepadatan Spasial (Spasial Density)

Terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit, sedangkan jumlah individu tetap.


2. Kepadatan Sosial (Social Density)

Terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi penambahan luas ruang.


Teori Kepadatan Menurut Altman

1. Kepadatan Altman (Inside Density)

Jumlah individu dalam suatu ruangan atau tempat tinggal.


2. Kepadatan Luar (Outside Density)

Sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu

B. Pengertian kesesakan

Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) tidaklah jelas benar, bahkan kadang – kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikian secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu ksatuan ruang.

Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding), yaitu dimana factor – factor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler (molecular crowding), yaitu perasaan sesak yang menganalisa mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal dan kesesakan molar (molar crowding), yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota.

Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.

Menurut Rapport (dalam Prabowo, 1990) kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besar ruangan dirasa tidak mencukupi sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruangan yang tersedia.

Menurut Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor :

  1. Karakteristik seting fisik.
  2. Karakteristik seting sosial.
  3. Karakteristik personal.
  4. Kemampuan beradaptasi.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

Teori kesesakan

a. Teori Beban Stimulus

Kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan.

b. Teori Ekologi

Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sidat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbale balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok social dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.

Analisis terhadap setting meliputi:

1) Maintenance Minimum, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung.

2) Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut

3) Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian dalam suatu seting. Applicant dalam seting rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

  • Performer : jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami dan isteri
  • Non-performer: yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini anak-anak atau orang lain dalam keluarga.

4) Teori Kendala Perilaku

Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Menurut teori ini, bila timbul gangguan terhadap kebebasan berperilaku, maka orang akan cenderung untuk membentuk semacam sikap penolakan psikologis. Hal tersebut berhubungan dengan campur tangan social atau hambatan-hambatan terhadap perilaku yang berupa aktivitas-aktivitas dari orang-orang di lingkungan sekitar.

Menurut Altman kondisi kesesakan yang ekstrim akan timbul bila faktor-faktor dibawah ini muncul secara simultan:

1. Kondisi-kondisi pencetus, terdiri dari tiga faktor :

(a) Faktor-faktor situsional, seperti kepadatan ruang yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, dengan sumber-sumber pilihan perilaku yang terbatas.

(b) Faktor-faktor personal, seperti kurangnya kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam situasi yang padat dan rendahnya keinginan berinteraksi dengan orang lain yang didasarkan pada latar belakang pribadi, suasana hati, dan sebagainya.

(c) Kondisi interpersonal, sepwerti gangguan sosial, ketidak mampuan memperoleh sumber-sumber kebutuhan, dan gangguan lainnya.

2. Serangkaian faktor-faktor organismik dan psikologis seperti stress, kekacauan pikiran, dan persaan kurang enak badan.

3. Respon-respon pengatasan, yang meliputi beberapa perilaku verbal dan non verbal yang tidak efektif dalam mengurangi stress atau dalam mencapai interaksi yang diinginkan dalam jangka waktu yang panjang atau lama.

Factor – factor yang mempengaruhi kesesakan

Terdapat tiga factor yang mempengaruhi kesesakan, yaitu :

1. Faktor Personal.

Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya,
pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.

a). Kontrol pribadi dan locus of control

Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper, 1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai kontrol terhadap lingkungan di stkitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol pribadi di dalarnnya.

b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi

Suatu penelitian yang dilaku1can oleh Nasar dan Min (dalam Gifford, 1987), yang meneoba membandingkan kesesakan yang dialami oll?h orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sarna di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pad a individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia.

c). Jenis Kelamin dan usia

PeneIitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada pria pengalaman akan kesesakan ini lebih terlihat dibanding wanita karena lebih menunjukkan sikap-sikap reaktif terhadap kondisi tersebut. Sikap reaktif itu tercemin dalam sikap yang lebih agresif, kompetitif dan negatif dalam berinteraksi dengan orang lain Sementam itu Dabbs (1977) mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin tidaklah berpengaruh terhadap kesesakan, melainkan lebih dipengaruhi oleh jenis kelamin mitra yang dihadapi.
Menurut Loo (dalam Gove dan Hughes, 1983) dan Holahan (1982) gejala reaktif
terhadap kesesakan juga lebih terlihat pada individu yang usianya tebih muda dibanding yang lebih tua.

2. Faktor Sosial.

Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih
banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tctapi di lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah

:
a). Kehadiran dan perilaku orang lain

Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu ban yak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, ternan sekamar, dan proses belajar mereka

.
b). Formasi koalisi

Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan ternan sekamar (dari satu menjadi dua orang ternan) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yang disebabkan karen a terbentuknya koalisi di satu pihak dan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford, 1987).


c). Kualitas hubungan

Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gifford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sarna dengan dirinya merasakurang men gal ami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.


d). Informasi yang tersedia

Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi ten tang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).

3. Faktor Fisik.

Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah
berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.

Faktor situasional tersebut antara lain:


a). Besarnya skala lingkungan

Dalam suatu seting ada tanda-tanda fisik dan psikologis. Tanda-tanda fisik adalah kepadatan, kawasan industri, taman, jalan-jalan, dan lain-lain. Adapun tanda-tanda psikologis seperti sikap terhadap kaum urban, privasi, dan perbandingan dengan kota-kota lain. Perasaan sesak yang teijadi pada skala kecil (tempat tinggal) sebaiknya diprediksikan dengan faktor-faktorfisik dan psikologis, tetapi bila terjadi pada skala yang lebih besar akan lebih baik bila diprediksikan hanya dengan faktor psikologis. Kesimpulan tersebut diambil dari hasil penelitian mengenai pengukuran pengaruh fisik dan psikologis terhadap kesesakan. Kesesakan dipengaruhi oleh skala geografis yang digunakan untuk melihat situasi itu dan perbedaan faktor-faktor pada masing-masing skala yang menyebabkan individu menyimpulkan bahwa dirinya merasa sesak.


b). Variasi arsitektural

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baum dan Valins (1977) ditemukan bahwa desain koridor yang panjang akan menimbulkan perilaku kompetitif, penarikan diri, rendahnya perilaku kooperatif, dan rendahnya kemampuan untuk mengontrol interaksi. McCartey dan Saegert (dalam Gifford, 1987) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan bangunan horisontal, kehidupan di bangunan vertikal dapat menyebabkan perasaan sesak yang lebih besar dan menimbulkan sikap-sikap-negatif seperti kurangnya kemampuan untuk mengontrol, rendahnya rasa aman, merasakesulitan dalam mencapai privasi, rendahnya kepuasan terhadap bangunan yang ada, dan hubungan yang tidak erat di antara sesama penghuni.

Dampak kesesakan

Kesesakan juga dapat mempengaruhi perilaku individu

1. Aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain

2. Interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya

3. Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)

4. Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).

5. Penurunan – penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.

6. Malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).

7. Kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982)

8. Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).

Namun dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi :
(1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain;

(2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih;
(3) kontrol pribadi yang kurang

(4) stimulus yang berlebihan.

Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan.


Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta setting kejadian.

Solusi kepadatan dan kesesakan

Masalah kepadatan dan kesesakan bisa dikurangi dengan solusi :

ü Mencegah urbanisasi yang berlebihan yaitu, dengan membangun lapangan kerja di kota – kota kecil.

ü Melakukan razia penduduk dan mengembalikan penduduk yang tidak memiliki kartu identitas kembali ke daerah asalnya

ü Menggalakkan program KB

ü Melakukan transmigrasi dari pulau yang padat penduduk ke pulau yang konsentrasinya rendah

ü Melakukan pelestarian alam untuk mendukung keseimbangan manakala manusia melakukan kegiatannya sehari – hari. Komponen lingkungan yang terdiri dari manusia, materi, energi, dan kreasi oleh ilmu lingkungan diatur agar komponen serta hubungan timbal baliknya dapat mempertahankan eksistensi manusia, menciptakan dinamika dan kesejahteraan manusia.

Contoh nyata kepadatan dan kesesakan

Pulau Jawa dan Madura mepunyai kepadatan tertinggi pada tahun 1971, yaitu 576 orang per km2, sedangkan pulau lainnya dibawah 50 orang.

Sumber
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab4 kepadatan_dan_ kesesakan.pdf, http://id.wikipedia.org/wiki/Kepadatan







Jumat, 25 Februari 2011

Pengaruh lingkungan terhadap perilaku

seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya sehingga lama kelamaan dia pun berubah menjadi anak yang rajin.

Hal itu karena lingkungan tersebut dianggap sesuai dengan diri si anak. Dia mengubah perilakunya agar bisa diterima oleh teman – temannya.

Lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku seseorang. Jika seseorang berada ditempat atau lingkungan yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya, secara otomatis dia akan mengubah perilakunya demi kelangsungan hidupnya. Dia akan mengubah perilakunya agar bisa diterima di lingkungan baru tersebut.

Lingkungan yang beraneka ragam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar.

Hubungan individu dengan lingkungannya ternyata memiliki hubungan timbal balik lingkungan mempengaruhi individu dan individu mempengaruhi lingkungan. Sikap individu terhadap lingkungan dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu :
a) Individu menolak lingkungan jika tidak sesuai dengan yang ada dalam diri individu
b) Individu menerima lingkungan jika sesuai dengan dengan yang ada dalam diri individu
c) Individu bersikap netral atau berstaus quo.

Kamis, 13 Januari 2011

penanganan dan relokasi bencana (peran psikologi kelompok dalam bencana)

Oleh :

Alzena Amanta 10508259

Nikmah Khumairoh 10508154

Nurul Lailani S 10508164

Putri Asih 10508175

Ratih Nurwahyuningtyas 10508185

3PA06


peran psikologi kelompok dalam bencana

sungguh nyata jika manusia berencana, Tuhan juga yang menentukan. Kita hanya bisa merendahkan hati dan berusaha keras untuk saling berempati.


Ø Awal Mula Bencana

Letusan eksplosif Gunung Merapi memeras air mata penduduk DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Peristiwa itu sangat mencekam, mengacaukan dan membawa korban tewas, puluhan sapi mati serta belasan rumah terbakar akibat awan panas atau runtuh akibat banjir lumpur.

Sejak letusan pertama 26 Oktober 2010, Merapi telah menyemburkan material vulkanik sekitar 100 juta meter kubik (m3). Sekitar 100 juta m3 material vulkanik itu menyebar ke sector selatan, barat daya, tenggara, barat dan utara yang diantaranya meliputi kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, serta Kabupaten Klaten, Boyolali dan Magelang di Jawa Tengah.

Berdasarkan observasi lapangan sementara petugas Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknolohi Kegunungapian (BPPTK), jarak luncur awan panas terjauh akibat letusan Merapi sepanjang 4/11-5/11 tercatat sejauh 14 kilometer di Dusun Bronggang, Cangkringan, Sleman, DIY. Akibat letusan itu tiga alat pencatat gempa BPPTK di stasiun Klatakan, Pusonglondon, dan Deles, rusak terkena awan panas.

Gelombang awan panas tak putus-putusnya keluar dari puncak beserta material letusan lava dan abu yang diiringi gemuruh. Puncaknya terjadi pada Jumat pukul 00.30. suara gelegar besar terdengar hingga radius 30 km dan hujan pasir hingga radius 15 km. hujan abu vulkanik juga terjadi hingga kota Yogyakarta yang berjarak lebih dari 30 km di selatan Merapi. Bahkan hingga kabupaten Tegal dan Brebes, Jawa Tengah.

Ø Penanganan bencana

Pasca bencana yang terjadi dapat membuat sebagian masyarakat mengalami stres, karena besarnya masalah gangguan jiwa dampak dari bencana yang mereka rasakan serta terlalu lama berada di daerah pengungsian dan yang ditakutkan mereka akan mengalami depresi berat, psikosis, atau bahkan kecemasan yang membuat para korban bencana tidak berdaya dalam menjalani hidup kembali seperti sebelumnya. “Terapi kelompok merupakan faktor atau aspek yang berpengaruh dan berperan terhadap proses perubahan yang dialami individu (Yalom, 1975)”. Terapi kelompok diharapkan dapat sedikit membantu seseorang yang mengikuti terapi, karena bertujuan untuk :

· Membangkitkan dan mendorong seseorang untuk tetap mau berusaha dan mampu bertahan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.

· Memberikan sebuah informasi bahwa bukan hanya dia saja yang mengalami masalah tetapi semua yang ada dalam 1 kawasan bencana mengalami permasalahan yang sama dalam arti mereka tidak sendiri.

· Satu sama lain belajar memberikan informasi tentang permasalahnya.

· Adanya proses saling menerima, membantu, memberi dukungan, meyakinkan, memberi saran, sharing tentang masalah yang sama untuk memberikan umpan balik hal tersebut sangat membantu karena setiap orang sebenarnya butuh untuk merasa dibutuhkan.

Dengan dilakukannya terapi kelompok diharapkan dapat memulihkan kondisi kejiwaan para korban bencana.

Dampak yang paling memprihatinkan juga terjadi pada tunas generasi bangsa atau anak-anak yang mengalami bencana, “Semua anak-anak berhak atas lingkungan yang dapat mengembangkan potensi-potensi mereka sampai ketingkat yang terbaik dan membuat mereka menjadi orang-orang yang bahagia. Disamping kasih sayang, anak-anak membutuhkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan, bakat, dan kepribadian masing-masing. Oleh sebab itu harus diusahakan lingkungan memberikan berbagai kemungkinan yang tidak dapat atau tidak diberikan oleh orang tua (Scarr, 1996)”, tetapi bagaimana dengan anak-anak yang lingkungannya terkena bencana, mereka pasti mengalami trauma yang sangat mendalam dan diharapkan para relawan dapat menghibur anak-anak dengan mengajak mereka belajar sambil bermain, bercanda, dan tertawa bersama sekedar melihat mereka tersenyum melupakan permasalahan yang mereka rasakan agar dapat berkembang sebagai anak-anak yang bahagia serta dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya di masa mendatang.

Kerentanan terbesar terhadap trauma justru disandang oleh anak-anak dan remaja (Stortelder & Ploegmakers-Burg, 2010). Orang-orang dewasa bisa juga terkena dampak tapi pada umumnya anak-anak dan remaja dapat terkena dampak yang lebih buruk.

Otak dan jiwa anak-anak dalam lima tahun pertama kehidupan mereka sangat rentan untuk mengalami perubahan positif maupun negatif. Perubahan itu berulang ketika anak memasuki usia 12 tahun. Trauma yang tidak ditindaklanjuti dengan terapi yang sungguh-sungguh dapat mengakibatkan psikopatologi (kondisi otak dan jiwa bermasalah yang menyatakan dirinya dalam berbagai gangguan pikiran, gangguan perasaan dan gangguan perilaku personal maupun sosial).

Traumatik paling mendalam yang dialami oleh anak-anak dan remaja dalam bencana adalah kehilangan pengasuh utama (ibu, ayah, bibi, paman, guru dan orang-orang dekat lainnya). Melalui hubungan-hubungan yang bersifat empatetik dan penyubstitusian yang diresapi pengertian, penerimaan hangat dan kejujuran serta ditandai teladan-teladan yang baik, otak jiwa anak dan remaja bertumbuh kembang sehat meniti suatu perjalanan perubahan dahsyat baik pada struktur otak maupun pada fungsi-fungsi kejiwaan dan sosial.

Peristiwa trauma lain yang juga sangat mendasar adalah kehilangan rumah, kampung halaman, keluarga dan sekolah adalah tempat hidup utama bagi anak-anak dan remaja. Ditempat hidup itu mereka meniti perkembangan neuropsikososial menuju perwujudan kemampuan-kemampuan untuk hidup sehat dan baik secara biopsikososial. Ketika bencana menghilangkan rumah, kampong halaman, keluarga dan sekolah dari kehidupan mereka, mereka pun kehilangan kesempatan untuk mengalami perkembangan neuropsikososial yang sehat dan baik.

Kehilangan-kehilangan itu sekarang harus dipulihkan seoptimal mungkin. Simpati diwujudnyatakan sebagai program-program dan aksi-aksi nyata menghadirkan pengganti dari fungsi pengasuh utama yang hilang, juga rumah, kampong halaman, keluarga dan sekolah yang hilang dari anak-anak dan remaja dalam bencana.

Ø Relokasi Bencana

“Para korban diharapkan dapat membentuk suatu kumpulan dan bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan (Deutsch, 1959; mills, 1967)” yaitu membangun daerahnya kembali disebut kelompok-relation, kelompok yang memiliki identitas kelompok yang kuat atau keluarga besar serta memiliki kekompakan kelompok yang tinggi (kelompok sangat terpadu/kohesif). Oleh sebab itu harus ada yang menjadi “panutan atau pemimpin agar dapat mengarahkan atau mempengaruhi sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama (Hemphill & Coons, 1957:7)”.

Istilah relokasi tak muncul semena-mena setelah adanya bencana. Relokasi telah lahir sebagai wacana publik, setidaknya dikalangan media. Pemerintah yang dijadikan sebagai pemimpin diharapkan dapat memberi kejelasan yang pasti dalam membantu para korban bencana dan pemerintah juga berlaku sebagai pihak yang memfasilitasi program relokasi kolektif ini. Relokasi merupakan salah satu alternatif untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tanahnya musnah terkena bencana, baik sebagian maupun seluruhnya, untuk menata kembali dan melanjutkan kehidupannya di tempat yang baru dan berada pada zona aman bencana.

Hak masyarakat kelompok yang harus dipenuhi atau dipertimbangkan pemerintah yang akan di relokasi adalah, pembangunan hunian sementara (huntara) pada keamanan relokasi dengan melihat titik-titik di daerah garis merah atau yang berada di radius 10-20 kilometer dari sumber bencana dengan pertimbangan bentuk rumah dan bangunan lain yang relevan, status hak atas tanah terhadap tanah dan bangunan yang telah diserah terimakan kepada masyarakat, diberikan kepastian dan perlindungan hukum berupa hak milik. Kelengkapan fisik lokasi pemukiman kembali, letak dekat dengan daerah aliran sungai, ketersediaan air bersih, akses jalan, pemanfaatan, dan kondisi lahan untuk memajukan perekonomian.

Relokasi yang relative diterima biasanya didukung tiga kondisi :

· Pertama. Pengetahuan umum yang menyatakan bahwa daerah yang tertimpa bencana alam itu tidak bisa dijadikan permukiman lagi.

· Kedua. Jaminan kepastian hak milik tanah

· Ketiga. Jaminan mata pencaharian yang sepadan dengan mata pencaharian di daerah asal.

Diharapkan apapun upaya yang dilakukan pemerintah serta peran kelompok dapat membantu dan mendukungan terhadap pemulihan tingkat kehidupan masyarakat kembali normal serta mengantisipasi dan meminimalkan dampak bencana di kemudian hari dengan menjaga lingkungan.

jurnal psikologi kelompok (tugas psikologi kelompok)

Oleh :

Alzena Amanta 10508259

Nikmah Khumairoh 10508154

Nurul Lailani S 10508164

Putri Asih 10508175

Ratih Nurwahyuningtyas 10508185

3PA06

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh ibu Inge Andriani dalam penyelesaian tugas softskiil “Psikologi Kelompok”.


Terimakasih untuk teman-teman terutama kelompok yang beranggotakan “Alzena Amanta, Nikmah Khumairoh, Nurul lailani, Putri Asih, dan juga Ratih nurwahyuningtyas” sudah meluangkan waktu untuk memberikan kelancaran dalam bentuk kerjasama walau banyak kendala yang dihadapi, maka akhirnya tugas ini dapat terselesaikan dan mudah-mudahan mendapatkan hasil yang memuaskan. Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah dari Allah SWT.


Akhir kata kami mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penyusunan tugas ini. Semoga penulisan ini dapat memberikan manfaat untuk para pembaca. Amin

Bekasi, Oktober 2010


LATAR BELAKANG


Kelompok adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok diciptakan oleh anggota masyarakat. Kelompok juga dapat mempengaruhi perilaku para anggotanya.


Menurut Johnson (Sarwono, 2005) kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to faceinteraction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mancapai tujuan bersama.


Bebearapa ahli psikologi sosial seperti Durkheim dan Warriner berpandangan bahwa kelompok merupakan sesuatu yang riil yang dapat diperlakukan sebagai objek di dalam lingkungan kita (dalam Sarwono, 2005).


Bergabung dengan sebuah kelompok merupakan sesuatu yang murni dari diri sendiri atau juga secara kebetulan. Misalnya, seseorang terlahir dalam keluarga tertentu. Namun, ada juga yang merupakan sebuah pilihan. Dua faktor utama yang tampaknya mengarahkan pilihan tersebut adalah kedekatan dan kesamaan.


1. Kedekatan
Pengaruh tingkat kedekatan, atau kedekatan geografis, terhadap keterlibatan seseorang dalam sebuah kelompok tidak bisa diukur. Kita membentuk kelompok bermain dengan orang-orang di sekitar kita. Kita bergabung dengan kelompok kegiatan sosial lokal. Kelompok tersusun atas individu-individu yang saling berinteraksi. Semakin dekat jarak geografis antara dua orang, semakin mungkin mereka saling melihat, berbicara, dan bersosialisasi. Singkatnya, kedekatan fisik meningkatkan peluang interaksi dan bentuk kegiatan bersama yang memungkinkan terbentuknya kelompok sosial. Jadi, kedekatan menumbuhkan interaksi, yang memainkan peranan penting terhadap terbentuknya kelompok pertemanan.


2. Kesamaan
Pembentukan kelompok sosial tidak hanya tergantung pada kedekatan fisik, tetapi juga kesamaan di antara anggota-anggotanya. Sudah menjadi kebiasaan, orang leih suka berhubungan dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan minat, kepercayaan, nilai, usia, tingkat intelejensi, atau karakter-karakter personal lain. Kesamaan juga merupakan faktor utama dalam memilih calon pasangan untuk membentuk kelompok sosial yang disebut keluarga.



DATA JURNAL


1. JURNAL KOHESIFITAS SUPORTER TIM SEPAK BOLA PERSIJA

a. Sejarah Pembentukan Kelompok
Persija singkatan dari Persatuan Sepak Bola Jakarta adalah sebuah klub sepak bola Indonesia yang berbasis di Jakarta dan memiliki julukan Macan Kemayoran. Persija saat ini bermain di Divisi Utama Liga Indonesia.
Persija didirikan pada tahun 1928, dengan cikal bakal bernama Voetbalbond Indonesish Jakarta (VIJ). VIJ merupakan salah satu klub yang ikut mendirikan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dengan keikutsertaan wakil VIJ, Mr.Soekardi dalam pembentukan PSSI di Societeit Hadiprojo Yogyakarta, Sabtu 19 April 1930 (Wikipedia,2007).
The Jakmania adalah kelompok suporter pendukung tim sepak bola Persija yang terbentuk karena suatu alasan, yaitu samasama mendukung tim sepak bola Persija dan berupaya untuk mengorganisir para supporter Persija. The Jakmania berdiri sejak Liga Indonesia IV, tepatnya 19 Desember 1997. Pada awalnya The Jakmania hanya terdiri dari 100 orang, dengan pengurus sebanyak 40 orang. Ketika dibentuk, dipilihlah figur yang dikenal di mata masyarakat. Gugun Gondrong merupakan sosok yang paling dikenal saat itu dan memimpin The Jakmania pada periode 1999-2000. Seiring dengan berjalannya waktu masa kepemimpinan Gugun Gondrong digantikan oleh Fery Indrasjarief yang memimpinselama 3 periode. Pada masa kepemimpinan Fery, The Jakmania berhasil mendapatkan anggota sebanyak 30.000 dari 50 Koordinator Wilayah (Wikipedia, 2007).
Kelompok yang ada dalam The Jakmania
• Jak On Air yaitu kelompok yang bekerja sama dengan Radio Utan Kayu yang setiap seminggu sekali mendatangkan pemain pemain Persija,
• Jak Angel yaitu kelompok perempuan yang mendukung tim Persija,
• Jak Online yaitu kelompok yang mempunyai kegiatan untuk memberikan fasilitas informasi tentang Persija melalui jalur internet,
• Jak Scooter yaitu kelompok pengguna kendaraan vespa yang mendukung Persija, dan
• Jak Adventure adalah kelompok suporter yang mendukung persija saat bertanding di kandang lawan (Wikipedia, 2007).
• Kelompok-kelompok kecil ini memiliki aktifitas seperti berangkat bersamasama dari suatu tempat menuju stadion tempat lokasi pertandingan Persija dan pulang bersama-sama menuju tempat asal.
• Kelompok The Jak Kukusan merupakan salah satu kelompok kecil yang tidak tercatat berdasarkan pembagian kelompok diatas.

b. Prestasi Persija
Klub Sepak Bola Persija memiliki stadion yang terletak di Lebak Bulus, Jakarta, yang memiliki kapasitas berjumlah 30.000 penonton. Klub ini mendapatkan mendapatkan perhatian yang besar dari Gubernur Jakarta waktu itu ,Sutiyoso yang merupakan Pembina Persija. Keberadaan Persija dalam kancah Liga Indonesia memiliki banyak prestasi, di antaranya:
a) 1931 Juara – VIJ Jakarta ( nama awal Persija)
b) 1933 Juara – VIJ Jakarta
c) 1934 Juara – VIJ Jakarta
d) 1938 Juara – VIJ Jakarta
e) 1964 Juara – Persija Jakarta
f) 1974 Juara – Persija Jakarta
g) 1975 Persija Jakarta dan PSMS Medan (juara bersama)
h) 1977 Juara – Persija Jakarta
i) 1979 Juara – Persija Jakarta
j) 1990 Divisi Utama Peringkat 10
k) 1995 Peringkat 12 Wilayah Barat
l) 1995 Peringkat 13 Wilayah Barat
m) 1996 Peringkat 10 Wilayah Barat
n) 1998 4 Besar Liga Indonesia
o) 1999 4 Besar Liga Indonesia
p) 2001 Juara Liga Bank Mandiri
q) 2002 8 Besar Liga Bank Mandiri
r) 2003 Peringkat 7 Liga Bank Mandiria
s) 2004 Peringkat 3 Liga Bank Mandiri
t) 2005 Runner-Up Liga Indonesia
u) 2005 Runner-Up Copa Indonesia
v) 2006 Liga Indonesia 8 Besar
w) 2006 Copa Indonesia Juara


c. Konflik kelompok
• Agresivitas sebagai reaksi terhadap gangguan dari luar.
• Evaluasi yang berlebihan tentang keunggulan atau ketidakmampuan seeorang dibandingkan anggota kelompok lainnya.
• Persepsi tentang kesamaan antar pribadi dalam hal sikap, perilaku, dan kepribadian.
• Konformitas pada standar kelompok yang bersangkutan dengan sikap dan penampilan

2. JURNAL UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI MAHASISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN MATA KULIAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN MELALUI METODE PEER TEACHING DAN BRAINSTORMING

a. Sejarah Kelompok
Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman sebagai salah satu unsur atau elemen Sistem Pendidikan Nasional, tidak terlepas dari berbagai permasalahan selama proses pembelajaran. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah tingginya rasio antara dosen dan mahasiswa yaitu 1 : 80. Artinya, kelas yang terbentuk adalah kelas besar yang menyebabkan suasana kelas tidak kondusif. Salah satu mata kuliah yang diajarkan di Jurusan Sosiologi adalah Sosiologi Pendidikan. Mata kuliah ini termasuk dalam kelompok Mata Kuliah Wajib yang diberikan di semester IV dengan bobot 2 SKS. Mata kuliah Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pengertian dasar kepada mahasiswa mengenai cara berpikir secara teoritis dan teknis untuk melihat hubungan antarmanusia dalam proses pendidikan.


b. Konflik yang dihadapi
Permasalahan mendasar yang dihadapi Peneliti sebagai tim teaching Sosiologi Pendidikan adalah masih kurangnya partisipasi mahasiswa selama kuliah berlangsung. Meskipun tim teaching sudah menggunakan metode diskusi kelompok dan diskusi kelas, namun tingkat partisipasi mahasiswa dalam kuliah masih rendah. Kekurangaktifan mahasiswa tersebut, bisa disebabkan oleh banyak faktor. Faktor–faktor tersebut di antaranya adalah mahasiswa kurang memahami materi yang disampaikan dosen, adanya perasaan takut dalam diri mahasiswa (karena kurang terbiasa) serta adanya perasaan takut salah yang kemudian mengakibatkan mahasiswa menjadi minder atau trauma jika ia menjawab pertanyaan pada saat diskusi.
Atas dasar itulah, salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini adalah dengan mengintensifkan kegiatan diskusi kelompok mahasiswa baik di luar (diskusi secara mandiri) maupun pada saat kuliah berlangsung. Langkah ini ditempuh untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam proses pembelajaran Sosiologi Pendidikan. Langkah ini juga ditempuh untuk meningkatkan interaksi antara dosen-mahasiswa dan interaksi antarmahasiswa. Metode diskusi yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi mahasiswa di kelas, ternyata belum dapat terwujud dalam proses pembelajaran Sosiologi Pendidikan di Jurusan Sosiologi. Kendala yang dihadapi tim teaching selama proses diskusi tersebut adalah jumlah peserta kuliah yang sangat besar (lebih dari 80 mahasiswa), sehingga suasana kelas yang terbentuk menjadi tidak kondusif.
Tantangan yang harus dihadapi tim teaching juga harus banyak meluangkan waktu. Cara mengatasinya adalah tim teaching akan selalu mengadakan koordinasi antaranggota sehingga setiap anggota dapat saling menggantikan. Selain itu, juga perlu disusun jadwal diskusi secara bergiliran. Materi kuliah juga perlu diperhatikan. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tematema diskusi merupakan tema-tema yang aktual dan up to date. Tema yang aktual akan lebih menarik minat mahasiswa untuk membahas dan mendiskusikannya. Sumber belajar selalu dikembangkan, agar mahasiswa akan lebih mudah mengakses materi kuliah serta dapat mengembangkannya secara mandiri sehingga mahasiswa tidak selalu tergantung pada dosen. Metode brainstorming juga menjadi metode utama, mengingat dengan metode ini mahasiswa diharapkan akan lebih dinamis. Interaksi antarmahasiswa juga dapat dipertahankan dengan metode ini. Metode brainstorming juga dilakukan untuk menjaga agar proses pembelajaran tidak terkesan monoton.

c. Prestasi yang dihasilkan
• Mahasiswa bisa berbicara di depan umum, juga dapat meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa.
• Perubahan perilaku dalam diri mahasiswa, yaitu perubahan karakter mahasiswa yang pasif menjadi lebih aktif di kelas.
• Meningkatkan partisipasi mahasiswa selama proses pembelajaran.

3. JURNAL PENGGUNAAN DAN EFEKTIVITAS MENGATASI STRES DALAM OLAHRAGA ANTARA OLAHRAGAWAN AUSTRALIA DAN INDONESIA (Use and Effectiveness of Coping with Stress in Sport Among Australian and Indonesian Athletes)

a. Sejarah Kelompok
Salah satu bidang psikologi olahraga coping literatur terus membutuhkan tambahan penelitian menyangkut pengaruh budaya penelitian. Penelitian lintas budaya membantu dalam menentukan temuan generalisability, dan memberikan dasar untuk perbandingan dengan budaya mainstream (Duda & Allison, 1990). Dalam sebuah penelitian yang jarang di daerah ini, Anshel, Williams dan Hodge (1997) meneliti budaya (Amerika Serikat [AS] dan Australia) perbedaan dalam menghadapi peristiwa stres dalam olahraga. Para peneliti menemukan bahwa kelompok (budaya) perbedaan menyumbang 95% dari total dispersi. Menentukan bahwa latar belakang budaya seorang atlet dapat mempengaruhi persepsi mereka dan tanggapan afektif terhadap stres harus menghasilkan kepekaan yang lebih besar untuk kelompok dan karakteristik budaya dalam pembinaan dan dalam mengembangkan intervensi manajemen stres. Perbedaan budaya dalam menghadapi telah diperiksa mengenai sumber stres dan coping strategi antara pejabat olahraga (misalnya, Anshel & Weinberg, 1995, 1996; Rodafinos € Kaissidisâ ', Anshel, & Sideridis, 1998). Dalam studi budaya gaya pelatihan, Chelladurai, Imamura, Yamaguchi, Oinuma, dan Miyauchi (1988) menemukan bahwa atlet Jepang)) disebut gaya kepemimpinan yang lebih otokratis, sedangkan atlet Kanada ingin lebih banyak pelatihan dan instruksi dari pelatih mereka.


Studi tentang efektivitas coping dalam olahraga, khususnya yang berkaitan dengan perbandingan budaya, telah sedikit. Dalam satu studi psikologi olahraga rue memeriksa efektivitas coping, atlet Dugsdale, Eklund, dan Gordon (2002) diminta untuk menilai efektivitas strategi penanganan yang mereka telah digunakan untuk mengatasi dengan pengalaman mereka yang paling stres stres berikut yang diharapkan dan tak terduga. Dalam literatur psikologi umum, Aldwin dan Revenson (1987) dan Zeidner dan Saklofske (1996) berpendapat bahwa inkonsistensi temuan penelitian tentang efektivitas mencerminkan mengatasi masalah konseptual dasar dalam pengukuran coping. Hubungan antara coping dan hasil diukur "tanpa memeriksa langkah antara penting, apakah usaha mengatasi berhasil dalam mencapai tujuan individu".
Apakah kecenderungan coping yang efektif sebagai fungsi dari jenis stressor memiliki nampaknya belum sebelumnya diperiksa dalam olahraga kompetitif. Penilaian efektivitas coping dalam penelitian ini alamat daerah ini hampir diabaikan untuk mengatasi dalam sastra olahraga. Hal ini sangat penting mengingat penggunaan umum strategi coping maladaptif yang biasa digunakan dalam olahraga yang sering menghambat kualitas kinerja (misalnya, permusuhan terhadap lawan, kemarahan diarahkan selfâ € ', berdebat dengan pejabat game). Selain itu, sementara peneliti sebelumnya telah difokuskan pada stres yang telah berpengalaman selama kontes olahraga, telah terjadi tidak tampak dari penelitian sebelumnya memeriksa peristiwa stres yang terjadi sebelum acara kompetitif.

Dengan demikian, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membandingkan digunakan (frekuensi) dan efektivitas yang dirasakan dari strategi coping sebelum (permainan) dan selama (game) olahraga kompetitif kontes sebagai fungsi budaya, khususnya, di antara Australia dan Indonesia pria dan wanita atlet. Itu adalah hipotesis bahwa penggunaan strategi penanganan yang berpengalaman sebelum dan selama acara olahraga kompetitif akan signifiÂcantly berbeda sebagai fungsi dari dua faktor, jenis stresor dan budaya. Berdasarkan literatur terkait yang masih ada, perbedaan antara budaya terhadap efektivitas coping juga diprediksi.


b. Prestasi
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan peserta laki-laki dan perempuan dari dua Negara (Indonesia dan Australia). Dimana dalam tingkat lokal 52 untuk Australia dan 35 untuk Indonesia), regional 62 untuk Australia dan 83 untuk Indonesia dan dalam negara bagian / tingkat propinsi 22 untuk Australia dan 29 untuk Indonesia. Olahraga yang dipertandingkan adalah hoki lapangan (N = 74), softball (N = 72), basket (N = 70), voli (N = 58), dan baseball (N = 9). Untuk tujuan perbandingan budaya, bisbol dipandang sebagai sebanding dengan softball sehubungan dengan tuntutan tugas, keterampilan, dan situasi permainan (Magill, 2001). Para pelatih tim di organisasi-organisasi ini setuju untuk terlibat dalam studi atas nama atlet. Penelitian, kemudian. terdiri dari total 283 atlet, termasuk 136 Australia (M = 20.3 yrs, SD = 0,71), 68 laki-laki dan 68 perempuan, dan 147 Indonesia (M = 22.5, = 0,98 SD), 78 laki-laki dan 69 perempuan. Tingkat pengalaman di tingkat saat ini kompetisi olahraga adalah 3,9 yrs. (SD = 87) dan 2,9 yrs. (SD = 1,01), untuk Australia dan Indonesia, masing-masing.


Item ini dikategorikan menggunakan analisis isi deduktif (DCA) berdasarkan analisis independen dari dua peneliti studi ini, diikuti oleh konsensus 100%. DCA melibatkan penggunaan yang telah ditentukan set tema, kategori, atau kerangka kerja konseptual untuk mengatur kutipan diperoleh dalam wawancara pribadi (Patton, 1990). DCA sudah sesuai dalam penelitian ini karena menanggulangi persediaan multidimensi (Carver et al, 1989.), Ukuran menghadapi peristiwa stres, menjabat sebagai kerangka kerja konseptual dari yang laporan para atlet '(yaitu, mereka menggunakan strategi coping) adalah dikategorikan.


Langkah-langkah yang digunakan yaitu :
• Terfokus coping (coping aktif, perencanaan, penekanan kegiatan bersaing, menahan diri mengatasi, mencari dukungan sosial instrumental)
• Aspek mengukur lima skala dari apa yang mungkin dipandang sebagai emotionâl 'fokus coping (mencari dukungan sosial emosional, reinterpretasi positif, penerimaan, penolakan, beralih ke agama), dan
• Tiga skala mengukur coping respon yang dikatakan kurang berguna (fokus dan ventilasi dari emosi, perilaku dan mental bercerai) "(hal. 267). Instrumen COPE telah digunakan untuk mengukur coping dalam studi olahraga sebelumnya diterbitkan psikologi (misalnya, Dugsdale et al, 2002;. Gould et al, 1993.).


Hasil yang diperoleh :
• Para atlet 'strategi penanganan yang mencerminkan enam dimensi et al Carver.' S COPE, aktif coping (yaitu, meningkatkan upaya seseorang),
• Menahan diri (yaitu, menahan diri kembali dari tindakan prematur dengan menunggu kesempatan yang tepat),
• Penerimaan (misalnya, mengakui bahwa stressor adalah bagian dari olahraga; ada lagi yang bisa dilakukan),
• Penolakan (yaitu, penolakan untuk percaya pada stressor yang ada, atau bahwa stressor harus diabaikan atau tidak penting),
• Mencari dukungan sosial karena alasan emosional (misalnya, mencoba untuk mendapatkan simpati, nasihat, atau pengertian dari orang lain), dan
• Ventilasi emosi (misalnya, bertindak agresif terhadap lawan atau secara lisan mengungkapkan frustrasi).

Faktor budaya dapat menentukan cara di mana seorang individu melihat dan menanggapi peristiwa stres. Sebagai contoh. dalam studi mereka tentang pengaruh budaya terhadap perilaku sosial, Storey, Spitzer, Nebesky, Lyon, dan Wheeler (1992) dan Triandis (1994) menemukan bahwa Indonesia lebih mungkin untuk mengekspresikan kesopanan dan lebih "halus" dalam mengungkapkan ketidaksetujuan atau keberatan dari yang lain budaya. Demikian pula, Kornadt (1991) menemukan bahwa remaja Indonesia cenderung untuk mencerminkan kesalahan mereka sendiri. kesedihan, dan frustrasi yang dihitung untuk Eropa remaja, sedangkan Passchier et al. (1991) menyimpulkan bahwa Indonesia lebih cenderung kerjasama nilai dan mencapai konsensus daripada memperoleh tujuan individu, dibandingkan dengan budaya Barat. Dalam studi lintas budaya terkait, Chelladurai et al. (1988) melaporkan bahwa atlet laki-laki Jepang lebih suka menggunakan dukungan sosial sebagai strategi coping dibandingkan dengan rekan-rekan Kanada mereka. Secara keseluruhan, temuan ini sebagian dapat menjelaskan perbedaan budaya dalam menghadapi dalam olahraga.

c. Konflik yang dihadapi
Ada keterbatasan dalam studi ini yang harus dibahas dalam penelitian di masa mendatang di daerah ini. Sebagai contoh, Zeidner dan Sakiofske (1996) berpendapat bahwa efektivitas operasional dianggap harus didefinisikan untuk responden karena itu adalah "kedua contextâ € 'tertentu dan terkait dengan pertemuan khusus" dan bahwa "keberhasilan coping ditentukan oleh efek dan hasil tertentu dalam situasi ". Persepsi yang atlet efektifitas dalam penelitian ini tidak kontrol faktor-faktor kontekstual dan definisi operasional. Salah satu implikasi dari hasil saat ini adalah perlu untuk menyelidiki hubungan antara frekuensi dengan yang dipilih atlet menggunakan strategi mengatasi dan efektivitas yang dirasakan menggunakan strategi tersebut sebagai fungsi dari sumber stres.
Keterbatasan lain dalam penelitian ini, menjadi perhatian umum di sebagian besar mengatasi dalam studi olahraga (Crocker et al, 1998.), Adalah konteks situasional (misalnya, saat musim, status kontes) di mana data mengatasi diperoleh. Kemungkinan bahwa penilaian peristiwa stres dan penggunaan selanjutnya strategi coping mungkin berbeda sebagai fungsi dari karakteristik situasional olahraga kompetitif (Newcombe & Boyle, 1995). Meskipun kumpulan data dari studi ini bagi semua kelompok yang diperoleh selama bagian tengah musim masing-masing, dirasakan pentingnya kontes tertentu dan perubahan seiring mungkin dalam intensitas tegangan tidak terkontrol. perbandingan gender juga diperlukan dalam penelitian masa depan pada mengatasi dalam olahraga diberikan ukuran sampel yang tepat untuk mengatasi Tipe I kesalahan. Penelitian tambahan adalah deeded untuk menguji efektivitas dalam meningkatkan pemahaman kita mengenai proses penanggulangan dalam olahraga kompetitif. Sebuah model konseptual yang dikembangkan oleh Anshel, Kim, Kim, Chang, dan Dapatkan (2001) mungkin menyediakan satu kerangka kerja konseptual di mana untuk mengatasi perbedaan individu dalam mengatasi stres dalam olahraga.

4. JURNAL INTEGRASI PRAKASA DI CSIRO: REFLEKSI DARI INSIDER


a. Sejarah Pembentukan Kelompok

Terbentuk sejak 1916 saat itu sebagai Dewan Penasehat Sains dan Industri dan pada tahun 1926 CSIRO dibentuk dan merupakan lembaga ilmu pengetahuan nasional Australia. Akronim CSIRO sekarang resmi nama organisasi, tetapi awalnya itu berdiri untuk Persemakmuran Organisasi Penelitian Ilmiah dan Industri. Saat itu ada sekitar 6.700 staf, 4.300 staf ini adalah penelitian para ilmuwan atau staf yang khusus berkaitan dengan proyek-proyek penelitian.


CSIRO berurusan dengan masalah kesehatan Australia melalui ekosistem dan pengelolaan tanah untuk industri. Penelitiannya dilakukan di kedua perkotaan dan pedesaan pengaturan. Untuk alasan ini, CSIRO dan ilmuwan profesional dengan berbagai disiplin latar belakang, mewakili ilmu pengetahuan alam, teknik, dan ilmu sosial.


CSIRO saat ini memiliki 21 divisi, yang dianggap sebagai unit bisnis terpisah. Secara tradisional divisi ini cenderung diselenggarakan sepanjang jalur disiplin dan difokuskan pada isu-isu tertentu (misalnya atmosfer, lautan, gizi manusia, atau kehutanan). Namun struktur ini terus dalam peninjauan sebagai organisasi, menanggapi persyaratan yang relevan dengan isu-isu kontemporer sebagai bagian dari respon ini telah ada kecenderungan terhadap lebih banyak riset multidisiplin dan terpadu.


b. Prestasi
CSIRO sejauh ini dapat menciptakan holistik pemecahan masalah yang diberikan manajemen tradisional struktur berdasarkan kombinasi dari disiplin ilmu biofisik, dan aspirasi untuk menghasilkan "ilmu yang hebat."
CSIRO juga berfokus pada penyediaan solusi holistik untuk masalah utama Australia.
Sebagai contoh, organisasi berharap untuk alamat pengelolaan sumber daya alam yang signifikan
masalah Australia dengan menggabungkan kebijaksanaan beragam disiplin ilmu.



KESIMPULAN

1. Metodologi Penelitian atau Tahap-tahap Penelitian


Menurut Usman dan Purnomo (2006) tahap persiapan dan pelaksanaan dalam penelitian kualitatif meliputi beberapa tahap:
a) Studi Pendahuluan
Pada tahap ini studi pendahuluan berguna untuk menjajaki keadaan di luar lapangan, dimana peneliti harus mengetahui masalah apa yang layak dan penting untuk diteliti. (Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan kegiatan untuk melihat kelayakan dan kepatutan dari masalah yang akan diteliti pada kelompok yang bersangkutan disertai adanya konsultasi dan bimbingan dari dosen pembimbing.)


b) Pembuatan Pradesain
Penelitian Pada tahap ini penelitian tidak bertujuan untuk menguji atau membuktikan teori seperti dalam metode kuantitatif, melainkan peneliti harus dapat mengembangkan teori yang akhirnya menemukan teori baru berdasarkan data yang didapatkan dilapangan.


c) Seminar Pradesain
Pada tahap ini seminar berguna untuk mendapatkan umpan balik terhadap hal-hal yang perlu mendapatkan perbaikan. Setelah pradesain selesai dibuat, maka perlu diseminarkan atau meminta persetujuan pembimbing, barulah peneliti terjun kelapangan untuk mengumpulkan data yang relevan. (Peneliti melakukan seminar di depan kelas, di hadapan dosen pembimbing dan rekan kuliah. Seminar ini dilakukan pada saat mata kuliah seminar studi kasus.)


d) Memasuki Lapangan
Pada tahap ini langkah awal peneliti adalah memilih lokasi situasi sosial yang mengandung;
a. Tempat adalah wadah dimana manusia melakukan kegiatan tertentu.
b. Pelaku adalah semua orang yang terdapat dalam wadah tertentu.
c. Kegiatan adalah aktivitas yang dilakukan dalam wadah tertentu.


e) Pengumpulan data
Pada tahap ini data yang dikumpulkan oleh peneliti meliputi tempat, pelaku, dan kegiatan yang diperoleh dari lapangan.


f) Analisis Data
Pada tahap ini data yang diperoleh dari lapangan harus segera dianalisis setelah dikumpulkan dan dituangkan dalam bentuk laporan lapangan.

2. Teknik Pengumpulan Data


Pada jurnal 1: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tipe wawancara terbuka. Hal ini akan memungkinkan peneliti untuk memiliki panduan dalam mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan hal yang diteliti, namun pada saat yang bersamaan tetap fleksibel, itu semua tergantung pada perkembangan dan situasi dalam wawancara

Pada jurnal 2: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tipe wawancara terbuka dan tertutup. Hal ini karena wawancara digunakan dengan tujuan umtuk memperoleh masukan atau umpan balik dari mahasiswa guna memperbaiki kualitas proses pembelajaran. Tes Formatif dan Ujian juga digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan materi oleh mahasiswa pada materi tertentu.

Pada jurnal 3: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tipe wawancara terbuka. Dimana subjek mengetahui bahwa ia sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud dan tujuan wawancara itu. Para atlet diminta untuk menunjukkan tingkat stres mereka yang dialami sebelum dan selama permainan, dinilai skala mulai dari I (Tidak di semua stres) sampai 5 (Sangat stres).

Pada jurnal 4: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tipe wawancara terbuka. Hal ini akan memungkinkan peneliti untuk memiliki panduan dalam mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan hal yang diteliti.

Observasi§


Pada jurnal 1: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi partisipasi dimana peneliti terlibat langsung secara aktif dalam objek yang diteliti sehingga memungkinkan informasi yang diperoleh dapat lebih maksimal dan diharapkan akan membantu dalam penelitian.

Pada jurnal 2: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi eksperimental dimana peneliti menghadirkan situasi yang disiapkan sedemikian rupa untuk meneliti sesuatu yang dicobakan.

Pada jurnal 3: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi sistematis dimana observasi ini sudah ditentukan terlebih dahulu kerangkanya, kerangka itu memuat faktor-faktor yang akan diobservasi menurut kategorinya.

Pada jurnal 4: Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi eksperimental dimana peneliti menghadirkan situasi yang disiapkan sedemikian rupa untuk meneliti sesuatu yang dicobakan.

3. Uji Keakuratan


Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa uji keakuratan, antara lain:
a) Uji Kredibilitas
Kredibilitas adalah kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif. Untuk mencapai kredibilitas dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan mengunakan proses triangulasi dan meningkatkan ketekunan (keajegan pengamatan). Menurut Wiersma (dalam Sugiyono, 2007) triangulasi adalah pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Patton (dalam Moleong, 2007) mengemukakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan, yaitu:
• Triangulasi Sumber: Membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.
• Triangulasi Metode: Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
• Triangulasi penyidik: Adanya pengamat diluar peneliti untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Adanya pengamat lain membantu mengurangi kemelencengan dalam pengumpulan data.
• Triangulasi Teori: Pengunaan berbagai teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat.

b) Uji Dependability
Dependability adalah uji yang dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Cara untuk melakukan dependability adalah dilakukan oleh auditor yang independen atau pembimbing mengaudit keseluruhan aktifitas peneliti dalam melekukan penelitian (bagaimana peneliti mulai menentukan masalah atau fokus, memasuki lapangan, menentukan sumber data, sampai membuat kesimpulan dapat ditunjukan oleh peneliti).

c) Uji Confirmability
Confirmability adalah menguji hasil penelitian yang dikaitkan dengan proses yang dilakukan.

4. Hasil


Pada jurnal 1:


• Kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania.
Berdasarkan penelitian kohesivitas dalam kelompok tersebut seperti, aktifitas kelompok dalam komunitas (main bola bareng adalah salah satu kegiatan TheJak kukusan, berkumpul setiap hari), aktifitas kelompok kecil (pulang pergi bersama saat menonton pertandingan Persija secara langsung, patungan), proses pengambilan keputusan (berdiskusi untuk menentukan keputusan yang terbaik, setiap anggota mempunyai solusi), identitas kelompok (menggunakan atribut Persija, baju, logo, shal), kohesivitas kelompok di luar lapangan (berkumpul diwarung ujung gang, dalam perjalanan kelompok menyanyikan yel-yel bersama), kohesivitas kelompok dilapangan (kelompok bergabung dengan The Jak yang lain, kelompok bernyanyi bersamasama, merayakan gol bersama, merayakan kemenangan bersama).
• Faktor-faktor yang menyebabkan kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania.
Selain dapat melihat kohesivitas dalam kelompok tersebut, peneliti juga dapat melihat faktor-faktor yang menyebabkan kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania. Pertama, latar belakang kelompok yaitu teman nongkrong (jarak rumah yang berdekatan menyebabkan anggota mudah bertemu), jumlah anggota (dengan anggota yang berjumlah 10 orang menyebabkan setiap individu dapat mengenal lebih dalam dengan anggota kelompok), tujuan yang sama (setiap anggota dalam kelompok memiliki keinginan yang sama yaitu ingin tim yang didukungnya menang).
Kedua, aktivitas dan kegiatan kelompok seperti main bola bareng (setiap anggota kelompok memiliki kegiatan sehari-hari bersama kelompok seperti main bola bareng dan aktivitas tersebut dapat meningkatkan kekompakkan), nonton bola bareng (kelompok memiliki kegiatan lain seperti nonton Liga Champion bersama anggota kelompok dan aktifitas tersebut dapat meningkatkan kekompakan, karena setiap anggota dapat saling bertemu). Ketiga kebersamaan kelompok seperti proses menumbuhkan keterikatan (pada saat berkumpul, anggota kelompok bercanda gurau dan tertawa bersama sehingga aktifitas ini dapat meningkatkan keterikatan antara anggota kelompok), saling membantu dan menolong (setiap anggota The Jak saling membantu jika ada yang kesusahan dan setiap anggota The Jak harus saling menolong, perilaku tersebut dapat meningkatkan kekompakkan dan kebersamaan setiap anggota).
Kegiatan-kegiatan seperti inilah yang menyebabkan adanya keterkaitan antara dua hal yaitu kohesivitas dalam kelompok tersebut dan faktor-faktor yang menyebabkan kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania yang saling berkesinambungan.


Pada jurnal 2:
Secara keseluruhan, implementasi PTK sudah mencapai target yaitu meningkatkan partisipasi mahasiswa selama proses pembelajaran. Partisipasi dilihat dari jumlah dan frekuensi mahasiswa memberikan komentar atau pertanyaan selama diskusi kelompok maupun diskusi kelas. Selain itu, dosen juga menilai kualitas/bobot komentar yang disampaikan mahasiswa. Selama diskusi kelompok, 60-75% mahasiswa sudah turut berperan aktif. Hal ini ditunjukkan rata-rata jumlah mahasiswa yang aktif dalam setiap diskusi kelompok adalah antara 7 sampai 8 mahasiswa per kelompok. Apabila dibandingkan dengan jumlah pada diskusi pertama sampai terakhir, jumlah ini cenderung meningkat, meskipun angka ini tidak mencapai angka 100%.
Proses diskusi kelas secara umum sudah dapat memotivasi mahasiswa untuk aktif. Rata-rata jumlah mahasiswa yang aktif selama enam kali diskusi kelas sebesar 15.3%. Hasil ujian utama menunjukkan data bahwa mahasiswa yang aktif selama diskusi cenderung untuk memperoleh nilai A atau B. Indikator nilai ujian utama ini juga menunjukkan keberhasilan PTK ini, yaitu sebesar 85.9 % memperoleh nilai A atau B.


Pada jurnal 3:
• Gunakan dan variabel Efektifitas 'permainan Strategi Coping
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh utama yang signifikan terhadap frekuensi menggunakan strategi coping untuk masing-masing dari tujuh stres pregame. menunjukkan berbagai tingkat keandalan item untuk mengatasi respon. Tes F univariat (semua DFS = 1.279) menunjukkan perbedaan budaya pada penggunaan beberapa strategi coping.
• Penggunaan dan Efektivitas Dianggap Strategi Terkait Mengatasi
Strategi penanganan yang serupa berikut sembilan stres yang dialami selama pertandingan dihitung sama dengan stres permainan. Hasil MANOVA menunjukkan perbedaan budaya dalam penggunaan strategi untuk mengatasi semua sumber stres gamerelated.
Untuk efektivitas coping, hasil MANOVA terhadap efektivitas strategi terkait dirasakan menghadapi mengungkapkan pengaruh utama yang signifikan untuk masing-masing dari sembilan sumber stres. Perbedaan signifikan budaya pada efektifitas mengatasi ditemukan. Alpha Cronbach berkisar 0,77-0,92, menunjukkan sedang hingga konsistensi tinggi untuk mengatasi item dalam stres.


Pada jurnal 4:
Studi kasus CSIRO, masalah yang diangkat mirip dengan yang ada di program multidisiplin Eropa dan isu-isu sekitarnya multidisiplin medis penelitian di Amerika Serikat. Isu yang diangkat dalam batas-batas dari CSIRO adalah kompatibel dengan tren diidentifikasi oleh Nowotny dan rekan dalam menggambarkan Mode 2 pengetahuan (Nowotny, Scott, & Gibbons, 2001). CSIRO mengembangkan penelitian terintegrasi atau "satu CSIRO" pendekatan untuk memecahkan masalah belajar untuk mencapai tujuan.

DAFTAR PUSTAKA

Achapelle, L., McCool, S. F., & Patterson, M. E. (2003). Barriers to effective natural resources planning in a “messy” world. Society & Natural Resources, 16, 473-490.

Ahmadi, A. (2002). Psikologi sosial. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Aldwin, C.. & Revenson, T.A. (1987). Does coping help? A reexamination of the relation between coping and menial health. Journal of Personality and Social Psychology, 53, 337‑348.
Black, J. A., & Champion, D. J. (2001). Metode dan masalah penelitian sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.
Carver, C.S., Scheier, M.F., & Weintraub, J.K. (1989). Situational coping and coping dispositions on a stressful transaction. Journal of Personality and Social Psychology, 66, 184‑195.dalam Analisis CSIS Tahun XXIV/2000 Nomor 2. CSIS, Jakarta.
CSIRO (2003). The Wagerup air quality study: A research proposal. Melbourne: Author.

CSIRO (2004). Annual Report: 2003-04. Retrieved August 31, 2005 from http://www.csiro.au/proprietaryDocuments/CSIROAnnualReport2003to2004.pdf

Freire, Paulo. 2002, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pustaka pelajar, Yogyakarta (terjemahan dari: The Politic Education : Culture, Power and Liberation oleh Prihantoro dan Furdiyartanto).

Ibrahim dan Nana Syaodih. 1996, Perencanaan Pengajaran, Rineka Cipta dan Depdikbud, Jakarta.
Lazarus, R.S. (1999). Stress and emotion: A new synthesis. New York: Springer,
Sarwono, S. W. (2005). Psikologi sosial: Psikologi kelompok dan psikologi terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Suryabrata, C. (2007). Ciri-ciri kelompok yang Metodelogi penelitian sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

Tilaar, H.A.R. 2000. ”Pendidikan Abad XXI: Menunjang Knowledge Based Economy”

Walgito, B. (2007). Psikologi kelompok. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Wandersman, A. (2003). Community science: Bridging the gap between science and practice with community centred models. American Journal of Community Psychology, 31, 227-242.

Wikipedia. (2007). Jakmania. http://id.wikipedia.org/wiki/the_jakmania.htm. 21 Maret 2007

psikologi kelompok

KELOMPOK ARISAN KELUARGA BANU SARPANI


Keluarga besar dari ayah saya memiliki tradisi acara kumpul arisan keluarga setiap 1 bulan sekali yang diadakan secara bergiliran tergantung yang mendapat arisan. Bisa dibilang acara ini wajib, terutama menjelang ramadhan dan akhir ramadhan. Seluruh keluarga besar sangat antusias datang ke acara ini, karena hanya disaat inilah keluarga kami bisa berkumpul. Karena kesibukan masing – masing dan lokasi rumah yang jauh membuat kami jarang bertemu, selain saling mengabari kabar masing - masing melalui telepon. Saya sangat tertarik untuk mengulas tentang kelompok arisan yang sudah berjalan sangat lama ini kurang lebih 30 tahun, maka saya mencoba bertanya pada ayah saya.

Yang pasti acara ini sudah menjadi jadwal khusus, sehingga kami harus mengosongkan jadwal kami untuk datang ke acara ini. kami dan keluarga kami tidak keberatan dan merasa senang karena kami bisa berkumpul lagi. berbagi kabar dan cerita. Melepas stress dari pekerjaan yang rasanya tidak pernah ada habisnya. Biasanya acara ini berlangsung sejak pagi hingga siang hari. acara ini pertama dimulai dengan acara bersalam - salaman dan silahturami, menyampaikan pengumuman yang ingin disampaikan, ceramah, acara makan – makan, dan diakhiri dengan mengobrol dan tukar kabar dengan saudara yang lain. sekali – kali kami mempererat tali persaudaraan dengan mengadakan liburan bersama bisa dipuncak atau pulang kampung bersama.

Kegiatan ini sangat bermanfaat dan menguntungkan bagi kami. Karena dapat mempererat jalinan silahturahmi antar saudara dan kami dapat bertemu dengan saudara – saudara yang jarang kami temui, karena rumah yang jauh atau kesibukan masing – masing yang tidak dapat ditinggalkan.Dengan acara ini hubungan antara saudara semakin dekat. Ayahku pernah berkata, jika terjadi suatu masalah pada kita orang yang pasti akan membantu adalah keluarga sendiri, sedangkan tetangga hanya membantu sekedarnya. Karena itu jaga hubungan silahturahmi antar keluarga.


Terima kasih


_Nurul Lailani_